Jakarta — Jakarta dikenal sebagai salah satu kota paling sibuk di dunia, dengan aktivitas yang nyaris tidak pernah terhenti. Pada siang hari, jumlah penduduk yang beraktivitas di ibu kota bahkan dapat menembus 42 juta orang, sebagaimana tercatat dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2025.

Lonjakan itu berasal dari pergerakan harian jutaan warga yang datang dari delapan kabupaten/kota penyangga di kawasan Jabodetabek. Akibatnya, kepadatan Jakarta jauh melebihi jumlah penduduk administratifnya yang berada di angka 11 juta jiwa.

Arus urbanisasi dari berbagai daerah di Indonesia juga ikut menambah tekanan kepadatan kota. Aktivitas ekonomi, pusat perkantoran, perdagangan, hingga sektor jasa yang terkonsentrasi di Jakarta menjadikannya pusat konsumsi terbesar di Tanah Air.

Di sisi lain, persoalan kemacetan masih menghantui kota megapolitan ini. Data TomTom Traffic Index 2024 menempatkan Jakarta di posisi 24 kota termacet di dunia, dengan total waktu terbuang hingga 108 jam selama jam sibuk. Sementara itu, Global Traffic Scorecard 2024 mencatat Jakarta berada di peringkat 7, dengan kerugian waktu mencapai 89 jam per tahun akibat kemacetan.

Selain macet, polusi udara dan tingginya kebutuhan listrik terutama saat jam kerja turut menjadi tantangan tersendiri bagi Jakarta. Tingkat kerentanan kota meningkat karena gangguan kecil pada pasokan energi dapat langsung memengaruhi produktivitas dan layanan publik.

Dengan konsentrasi ekonomi sebesar itu, Jakarta tidak mungkin mengandalkan sumber energi lokal. Ekonom energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, menuturkan bahwa ketergantungan Jakarta terhadap sistem kelistrikan Jawa-Bali merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Menurutnya, suplai energi dari luar daerah justru menjadi penopang utama agar roda ekonomi tetap berjalan stabil.

“Yang dikejar Jakarta bukan lagi swasembada energi, melainkan konsumsi energi yang berkelanjutan. Untuk kota dengan beban aktivitas sebesar ini, stabilitas pasokan listrik jauh lebih penting dibandingkan ambisi berdikari energi,” kata Yayan.

Ia menjelaskan bahwa transformasi Jakarta dapat diarahkan melalui pendekatan infrastructure led to development, yaitu strategi pembangunan infrastruktur sebagai pendorong perubahan perilaku masyarakat. Ketika fasilitas publik tersedia dan berfungsi dengan baik, masyarakat pun menyesuaikan pola hidup serta konsumsi energinya.

Transportasi umum seperti MRT, LRT, KRL, dan TransJakarta menjadi contoh nyata dari pendekatan tersebut. Selain menjadi tulang punggung mobilitas warga, moda transportasi berbasis listrik jauh lebih efisien secara energi dibandingkan penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil.

“Semakin banyak masyarakat yang berpindah ke transportasi publik, penggunaan BBM dapat ditekan. Dalam jangka panjang, ini akan menurunkan emisi tanpa mengorbankan produktivitas kota,” ujarnya.

Pemanfaatan energi surya di fasilitas publik—mulai dari gedung pemerintah hingga lampu jalan—dinilai sebagai langkah paling memungkinkan diterapkan saat ini. Konsumsi listrik fasilitas tersebut cenderung stabil dan mudah diprediksi, sehingga perhitungan biaya dan manfaat lebih jelas dibandingkan sektor rumah tangga.

Menurut Yayan, biaya instalasi awal panel surya memang besar, tetapi penghematan tagihan listrik dalam beberapa tahun dapat mengimbangi investasi tersebut. Selain efisiensi anggaran, keuntungan lain datang dari penurunan emisi dan berkurangnya beban sistem kelistrikan, terutama pada siang hari saat permintaan energi mencapai puncak.

Selaras dengan itu, kendaraan listrik kini menjadi sektor yang paling cepat memberikan dampak ekonomi dan lingkungan. Hal ini karena transportasi merupakan penyumbang konsumsi energi dan emisi terbesar di kawasan perkotaan.

“Pergeseran warga Jakarta ke motor dan mobil listrik menunjukkan bahwa transisi energi bukan lagi sekadar wacana, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,” tambah Yayan.

Fenomena itu dapat dilihat dari kisah Abel Adhi Kusuma, karyawan swasta yang memilih motor listrik sebagai kendaraan utamanya. Baginya, keputusan beralih bukan sekadar mengikuti tren. Biaya pengisian daya yang jauh lebih murah serta minimnya kebutuhan perawatan menjadi alasan utama.

“Cost saving-nya kerasa banget. Kalau pakai motor bensin, dalam seminggu bisa dua sampai tiga kali isi. Motor listrik nggak perlu ganti oli, jadi lebih hemat,” kata Abel, 31 tahun.

Ia juga menilai motor listrik lebih ramah lingkungan dan tidak berisik, sehingga ketika harus melewati gang-gang kecil di Jakarta, ia tidak mengganggu warga sekitar.

“Saya suka karena suaranya halus dan tidak mengeluarkan asap knalpot. Bahkan seminggu cuma keluar sekitar Rp4.000 buat ngecas,” tuturnya.

Jika transisi energi ini dilakukan secara konsisten dan berbasis perhitungan ekonomi yang matang, Jakarta berpeluang menekan emisi sekaligus mencapai target net zero emission. Lebih jauh, langkah ini mendukung daya saing ibu kota sebagai pusat ekonomi nasional di masa mendatang.

Editor : EPICTOTO
Sumber : mercatotomatopienewark.com

By admin